Kamis, 28 Februari 2008

RAJA SILAHI SABUNGAN DAN SILALAHI NABOLAK

Sumber : Memory Raja Silahi Sabungan , Tumaras, J.Sihaloho


Silahi sabungan pun pergi mandi, dibersihkan badan dengan jeruk purut. Badan yang penat kembali segar bugar. Selesai mandi ia pun berkemas dan pergi. Silahisabungan meneruskan perjalanannya menuju utara dan tiba diatas bukit Simandar, dilihatnya ke bawah terdapat danau yang sangat luas dan dipantai baratnya nampak hamparan tanah yang datar. Kemudian dipandangnya arah ke Balige tidak nampak lagi apa-apa karena dihalangi dolok Pusukbuhit dan pulau Samosir. Ia turun kebawah melalui lereng Laksabunga, dan ia tanah yang terhampar adalah tanah yang subur. Karena asap api di Balige tidak mungkin lagi terlihat maka Silahi sabungan berkenan tinggal disitu, yang kemudian daerah itu dinamai Silalahi Nabolak.

Di Silalahi Nabolak, Silahisabungan kemudaian membangun pondok tempat tinggalnya. Ia membuat bubu untuk perangkap ikan disungai. Setiap hari Silahi sabungan mambaca dan mempelajari isi Laklak Tumbaga Holing. Silahi sabungan menemukan ilmu kesaktian yang dapat berlayar di atas air dengan sehelai daun pohon sumpit. Kemudian ilmu Silompit Dalan ( ilmu yang mempercepat perjalanan ), Ilmu Hadatuon serta hasiat benda-benda yan ia terima sewaktu bersemedi.

1. Piso Lipat adalah alat membelah jeruk purut untuk menyembuhkan segala penyakit buatan manusia.
2. Piso Tumbuk Lada adalah alat menyembuhkan segala penyakit yang dibuat mahluk halus.
3. Piso Halasan adalah alat kerajaan dan alat memukul mundur musuh diwaktu perang.
4. Piso Sigurdung Sidua Baba adalah alat yang paling tinggi memusnahkan musuh dan melindungi diri dari segala marabahaya.
5. Siorlombing Sadopa adalah alat serba guna yang dapat dipakai sebagai tongkat petunjuk jalan kehidupan dan sebagai busur yang dapat mematikan lawan.

Dengan sebuah daun sumpit ( bulung sumpit ) Silahisabungan pergi berlayar menyusuri danau yang sangat luas itu, yang kemudian dinamai Danau Silalahi ( bhs. Batak : Tao Silalahi ).


Silahisabungan dengan Raja Pakpak ( Raja Parultep )

Setelah berbulan-bulan lamanya Silahi sabungan menetap di Silalahi Nabolak , ia dikejutkan dengan suatu peristiwa yang membawa berkah bagi hidupnya.

Seorang raja Pakpak bernama Raja Parultep, tengah berburu (menyumpit) burung di hutan Simarnasar diatas Silalahi Nabolak. Sewaktu Raja Parultop menyumpit seekor burung elang (Lali), paha burung itu kena namun burung itu tidak sampai mati. Burung elang itu kembali terbang. Raja Parultop mengejar, tetapi begitu didekati burung itu kembali terbang. Demikianlah berulang-ulang, akhirnya Raja Parultep tiba Silalahi Nabolak.

Sewaktu Raja Parultep mengejar sampai Silalahi Nabolak, burung elang itu terbang menuju pulau Samosir - melintasi Danau Silalahi yang sangat luas. Burung elang itu merasa tidak sanggup terbang sampai ke Pulau samosir, lalu burung itupun kembali ke pantai Danau Silalahi dan hinggap dekat pondokan Silahi sabungan. Burung elang dengan mudah ditangkap oleh Silahisabungan, karena sudah lelah. Raja Parultop yang memperhatikan burung elang itu kembali dan hinggap dipantai Danau Silalahi, dia bertekat akan menangkap burung elang itu hidup atau mati, walaupun hari sudah senja. Raja Parultep segera menuruni bukit Silalahi dan terus mencari kemana hinggapnya burung elang itu.
Raja Parultep tercengang melihat sorang pemuda duduk diatas pondok sambil memengang burung elang yang disumpitnya. Dengan geram dan marah Raja Parultep berkata : “ Hei, siapa kamu yang berani tinggal ditanah milikku ini ? Aku adalah Raja Pakpak yang berkuasa sampai ke pantai danau ini. Kemarikan burung elang yang kau pegang itu, kau harus dihukum dan diusir dari tempat ini, “ katanya.

Silahisabungan mendududki tanah yang dibawa dari Balige dan mengambil air yang dibawa dari Mual Sigutti, lalu dengan sopan santun dan cukup berwibawa, menjawab : “ Raja Pakpak yang mulia, saya
tidak bersalah, ucapan raja yang mengada-ngada. Saya berani sumpah, bahwa tanah yang saya duduki ini adalah tanahku dan air yang saya minum ini adalah airku, “ lalu Silahi sabungan meneguk air dari kendi ( tabu-tabu ) yang dibawanya dari Mual Sigutti.

Kemudian Silahi sabungan berkata : “ Natipniptip sanggar mambahen huru – huruan, jumolo sinungkun marga asa binoto partuturan, ia goarhu sude jolma baua mamboan. Na manungkun ma ahu marga aha ma amang ? “ , Silahi sabungan lalu turun dan memberi salam ke Raja Parultep dengan hormat. (Silahisabungan seakan berpantun dan memberitahukan namanya dan sekaligus menanyakan marga apakah gerangan raja dihadapannya supaya tidak salah dalam menyampaikan perkataan ).

Mendengar ucapan Silahi sabungan dan tutur katanya yang menawan, amarah Raja Parultep jadi hilang dan menjawab dengan ramah : “ Goarmu sude jolma baua mamboan, goarhu pe denggan ma
paboaon, I ma ulaulangku ari-ari marga Padang batangari na domu tu marga Pasaribu “, katanya. (namamu sebagaimana laki-laki, baiklah aku juga akan memeritahukan namaku yaitu sama seperti apa yang kulakukan setiap hari – berburu dengan sumpit ( bhs. Pakpak : parultep ) marga Padang batangari, sepadan dengan Pasaribu ).

Kemudian Silahi sabungan berkata :” Horas ma tulang,ai inongku pe boru Pasaribu do ”, ( horas Tulang, ibuku juga boru Pasaribu ) sambil mempersilahkan Raja Parultep naik ke pondokannya karena hari sudah mulai gelap. Ajakan Silahi sabungan dengan senang hati diterimanya dan mereka dapat bercengkrama sampai larut malam. Dalam percakapan mereka Raja Parultop menanyakan keberadaan keluarga Silahisabungan. Dijawabnya bahwa ia belum beristeri. Mendengar tutur kata Silahi sabungan nan sopan lagi santun, diam-diam Raja menaruh simpati dan ingin bermenantukan Silahi sabungan, Raja Parultep lalu berkata : “ Aku mempuyai putri 7 orang, kesemuanya sudah anak gadis. Jikalau kau berkenan menjadi menantuku besok kita pergi ke Balla. Pilihlah salah satu putriku untuk menjadi istrimu, dengan syarat tidak boleh dimadu ( na so marimbang ) sepanjang hidupmu “. Mendengar ajakan raja, Silahi sabungan menyambut dengan senang hati. Lalu Silahisabungan menjawab : “ Mana mungkin saya berani ke Balla jikalau tidak memenuhi adat istiadat, sedang aku hanya sebatangkara. Kumohon , Pamanlah membawa paribanku itu kemari, supaya disini aku pilih “.

Alasan Silahi sabungan masuk akal Raja Parultep, akhirnya menerima permintaan Silahi sabungan. Kemudian mereka menetapkan hari dan tanggal pertemuan sekaligus perkawinannya, lalu mereka sama-sama minta tidur karena sudah lelah sepanjang hari.

Silahi sabungan tidak dapat tidur memikirkan dan membayangkan putri Raja Parultep. Bagaimana cara memilihnya jikalau benar ada 7 orang putri raja. Diam-diam Silahisabungan membuka Laklak Tumbaga Holing, untuk melihat petunjuk. Dalam petunjuk terlihat putri raja hanya satu, lalu mengapa dikatakan 7 orang ?

Rupanya Raja Parultep pun tidak tidur sepanjang malam itu. Dengan berpura-pura tidur, Raja Parultep mengintip gerak-gerik Silahisabungan. Diketahuilah bahwa Silahi sabungan adalah orang sakti, bukan sembarang orang. Keesokanharinya Silahi sabungan memberangkatkan Raja Parultep pulanng ke Balla dengan oleh-oleh ikan Batak. Silahisabungan berkata : ” Jikalau rombongan Paman datang terlebih dahulu, nyalakan api diatas bukit sana dan kemudian akan saya nyalakan api dibawah ini tanda saya sudah siap menyambut Paman “. Setelah sepakat akan perjanjian mereka, Raja Parultep lalu pulang ke Balla dengan membawa banyak oleh-oleh Ikan Batak.


Pingganmatio boru Padangbatangari


Setelah Raja Parultep tiba di Balla, segera disambut istrinya dan anak-anaknya dengan gembira. Mereka terheran-heran melihat ikan batak yang begitu banyak , lalu bertanya : “ Dari mana ikan batak yang sebanyak ini ?, biasanya bapak pulang membawa daging rusa atau burung. Sekarang jadi lain, “ kata istrinya. Raja Parultep menerangkan pertemuannya dengan Silahi sabungan dan menjelaskan perjanjian mereka tentang rencana pertunangan puteri mereka dengan Silahi sabungan.

Keluarga Raja Parultep merasa gembira mendengar berita itu, lalu mempersiapkan peralatan untuk pesta pertunangan. Setelah tiba hari yang ditentukan berangkatlah Raja Parultep bersama rombongannya ke Silalahi Nabolak. Setelah tiba diatas bukit Laksabunga, Raja Parultep kemudian menyalakan api pertanda bahwa mereka sudah datang. Melihat asap api, Silahi sabungan juga segera menyalakan api sebagai pertanda bahwa ia telah siap menyambut kedatangan rombongan mempelai wanita.

Silahi sabungan menyambut rombongan Raja Parultep ditepi sungai yang agak dalam airnya. Raja Parultep bertanya dalam hati : “ Mengapa Silahi sabungan menyambut kami di sungai yang agak dalam airnya?” Silahisabungan berkata : “ Tulang suru hamu ma borumuna i sada-sada rotu bariba on, asa hupillit na gabe par sinondukhu. “ ( Paman, kiranya perintahkanlah satu-persatu putrimu menyeberang kemari, supaya kupilih yang menjadi istriku ). Akhirnya Raja Parultep bisa mengerti mengapa Silahi sabungan harus menyambut mereka ditepi sungai itu, lalu sang Raja menyuruh satu-persatu puterinya menyeberangi sungai itu, dengan menjunjung bakul berisi tipa-tipa. Dari puteri pertama sampai putri keenam, semuanya cantik rupawan dengan rambut bagaikan mayang terurai . Tetapi tak satupun jua yang mengena dihati Silahisabungan. Kemudian putri yang ketujuh rupanya sedikit jelek dan bermata juling, tiba-tiba lalu Silahi sabungan melompat kedalam sungai menyambut putrid Raja Parultep dan berkata : “ Inilah pilihanku paman, yang menjadi istriku, kiranya paman merestui dan Mulajadi Nabolon memberi berkah. Semoga kami menjadi rumah tangga yang bahagia dan mempunyai keturunan yang banyak “ , katanya.

Sebelum diberkati, Raja Parultop masih menanya Silahi sabungan lalu berkata : “ Mengapa enkgkau memilih putri bungsuku ? Lihatlah perawakannya yang pendek dan rupanya pun jelek, padahal semua kakaknya jauh lebih cantik dan badannya sintal .“ Tetapi Silahisabungan menjawab : “ Paman, memang enam orang kakak-kakaknya semuanya cantik rupawan, tetapi mereka tidak merasa sungkan ketika mereka harus menarik sarungnya keatas lutut untuk menyeberangi sungai ini, “ katanya dengan halus. Padahal yang sebenarnya Silahisabungan mengetahui bahwa keenam gadis itu bukanlah manusia melainkan manusia jadi-jadian yang sengaja diumpankan oleh Raja Parultep untuk menguji kesaktian Silahi sabungan. Namun semua itu tidak diutarakan Silahi sabungan kepada Raja Parultep, demi menjaga nama baik dan tidak mempermalukan sang Paman. Sejak saat itu, kemudian sungai itupun diberi nama “Binangsa so maila “.

Raja Parultop pun kemudian memberikan restu kepada anak dan menantunya, lalu berkata : “Goarmu ma borungku Pingganmatio boru Padangbatangari , anggiat ma tio parnidaan dohot pansarianmu tu jolo ni ari. Asa boru parsonduk bolon ma ho sipanggompar sipanggabe, partintin na rumiris, parsanggul na lumobi, paranak so pola didion, parboru so pola usaon. Panggalang panamu, sipatuat na bosur, sipanangkok na male.

Hope hela na burju Silahi sabungan, sabungan ni hata, sabungan ni habisuhon dohot sabungan ni hadatuon. Nunga dipatuduhon ho habisuhon dohot hadatuonmu dina mamillit parsinondukmon, partapian simenak-enak maho partapian naso ra monggal Parninggala sibola tali. Asa saut ma ho gabe raja bolon jala na tarbarita, pasu-pasuon ni mulajadi Nabolon,” katanya.

Setelah selesai pemberkatan, rombongan Raja Parultep kembali ke Balla, tinggalah Silahi sabungan bersama Pingganmatio boru Padangbatanghari memulai hidup yang baru. Mereka kemudian membuka kampung bernama Silalahi. Berselang sembilan bulan, rasa rindu pun mulai bergelora untuk berjumpa dengan orang tuanya. Pinggan Matio kemudian mengusulkan ke Silahisabungan untuk pergi ke Balla mengunjungi keluarga. Silahisabungan yang sangat saying kepada isteri tercinta mengabulkan dengan senang hati.


Keturunan Silahi Sabungan


Pada suatu hari pergilah Silahi sabungan bersama Pingganmatio boru Padangbatanghari ke kampung mertuanya di Balla. Sewaktu mendaki bukit Silalahi, Pingganmatio yang tengah hamil tua mulai merasa dahaga, sehingga mereka harus istirahat dilereng bukit. Rasa haus Pingganmatio kian terasa. Kemudian ia bersenandung sedih : “ Loja ma boruadi mamboan tua sian mulajadi, mauas ma tolonan ndang adong na mangubati. Jonok do berengon sillumalang na so dundungonki, boha do parsahatku tu huta ni Damang parsinuan dohot dainang pangintubu i “ , katanya. ( sudah lelah aku membawa kandunganku, rasa haus tak ada mengobati. Tampak dekat nian air danau namun tak bisa terjangkau, apakah aku akan sampai dikampung orang tuaku ).

Mendengar senandung Pingganmatio, Silahisabungan kemudian mengeluarkan Siorlombing ( tombak ) dari tas bawaanya, lalu berdoa memohon kepada Mulajadi Nabolon minta diberikan air pelepas dahaga . Kemudian Silahi sabungan menancapkan Siorlombing ke tebing batu dan keluarlah air, lalu memberikannya ke Pingganmatio untuk minum sepuas-puasnya. Air itulah kemudian di sebut ”Mual sipaulak hosa ”, yang terdapat dilereng bukit batu Silalalahi Nabolak. Setelah rasa haus Pingganmatio hilang dan tenaganya pulih, mereka kemudian meneruskan perjalanan menuju Balla. Kedatangan Silahisabungan beserta Pingganmatio disambut keluarga Raja Parultep dengan gembira, apalagi setelah melihat Pingganmatio tengah hamil tua. Melihat kehamilan Pingganmatio, Ibu mertua Silahi sabungan meminta agar putrinya sebaiknya tinggal di Balla menunggu sampai kelahiran anaknya, karena Silalahi Nabolak tidak ada teman mereka membantu.

Setelah beberapa waktu mereka tinggal di Balla, Pingganmatiopun kemudian melahirkan seorang anak laki-laki. Silahi sabungan merasa gembira tiada tara dan sujud bersyukur, karena dia sudah menjadi seorang ayah. Begitu juga dengan Raja Parultep dan Permaisuri, merasa berbahagia karena sudah ada cucu dari putrinya Pingganmatio. Mereka kemudian berencana untuk mengadakan syukuran kelahiran sambil membuat nama cucunya itu. Rencana itu diberitahukan kepada menantunya Silahi sabungan, yang disambut dengan senang hati.

Raja Parultep kemudian mengundang raja-raja dan penduduk negeri untuk menerima adat dari Silahi sabungan sambil menobatkan nama cucu mereka yang baru lahir. Ditengah acara syukuran itu Raja Parultep berkata : “ Bapak dan ibu yang kami hormati, sudah lebih satu tahun puteri kami Pinggan matio berumah tangga dengan Silahi sabungan dan telah dianugerahi Yang Maha Kuasa seorang anak laki-laki. Selama ini kami merasa ragu-ragu karena belum melaksanakan adat yang berlaku. Hari ini tibalah saatnya anak menantu kami membayar adat, memberi nama cucu yang baru lahir dan sekaligus menobatkan ayahnya sebagai Raja.” Kemudian Raja Parultop mengatakan : “ Nunga lolo raja, jala nunga loho roha. Hubahen ma goar ni pahompu on si Lohoraja.” ( sudah berkumpul semua Raja, dan hatipun telah puas. Maka kuberikan nama cucuku ini Si Lohoraja ).

Beberapa minggu setelah pesta, Raja Silahisabungan dengan istrinya Pingganmatio pun ingin kembali ke Silalahi Nabolak. Selama dua tahun mereka tidak pernah lagi datang ke Balla. Karena sudah dua tahun tak pernah datang Silahi sabungan dan Pingganmatio ke Balla, rasa kangen dan rindu Raja Parultop timbul lalu berkata kepada istrinya : “ Sitingkir jolo borunta tu Silalahi, nungga tung masihol ahu“, katanya. Bertepatan dengan kedatangan Raja Parultep di Silalahi Nabolak, Pingganmatio melahirkan anak kedua seorang laki -laki. Kemudian anak itu diberi nama si Tingkirraja atau Tungkirraja.

Pada suatu ketika Silahi sabungan bertukang membuat tempat tidur ( rusbang ) dari kayu bulat yang disebut Sondi. Setelah tempat tidur selesai dikerjakan , Pingganmatio melahirkan anak laki–laki ketiga yang kemudian diberi nama Sondiraja . Silahi sabungn nampak bergembira karena telah mempunyai tiga orang anak laki–laki , tetapi Pingganmatio merasa kurang bergairah karena belum diberikan Tuhan anak perempuan. Hati Pingganmatio merasa sedih. Melihat Pingganmatio semakin larut dalam kesedihan, Silahisabungan kemudian minta izin dan pamit kepada isterinya untuk pergi bersemedi ke Gua Batu diatas bukit Silalahi. Dia memohon kepada Mulajadi Nabolon agar mereka diberikan seorang anak perempuan. Idaman Pinggan Matio dan Permohonan Raja Silahisabungan dikabulkan Mulajadi Nabolon. Kemudian Pingganmatio melahirkan anak keempat seorang perempuan, lalu ia berkata : “ Nunga Gabe jala mamora ahu, hubahen ma goar ni borunta on Deang Namora” (Sudah bahagia dan kaya aku, kuberikan nama Puteri kita Deang Namora - Kaya ) katanya kepada Raja Silahisabungan dengan gembira. Raja Silahisabungan juga merasa bahagia karena permintaannya dikabulkan oleh Mulajdi Nabolon ( Yang Maha Kuasa ).

Kemudian Pinggan Matio melahirkan anak kelima, seorang anak laki – laki. Pada waktu kelahiran anak kelima ini, Silahisabungan tengah mengganti atap rumah yang terbuat dari kayu butar. Oleh karena itu mereka membuat nama anak kelima ini Butarraja.

Pada waktu kelahiran anak keenam, Raja Silahisabungan sedang berada di pulau Samosir untuk mencari tanah kosong untuk keturunannya kelak. Tanah itu kemudian disebut “ Luat Parbaba.” Setelah Raja Silahisabungan kembali dari seberang ( bariba) dijumpainya telah lahir seorang anak laki-laki. Karena ia baru tiba dari bariba ( seberabg ) maka diberilah nama anak itu Dabaribaraja.

Kelahiran anak ketujuh Silahi sabungan yang ditandai dengan terjadinya bencana alam. Pada saat Pingganmatio melahirkan, turun hujan lebat sehingga terjadi tanah longsor ( tano bongbong ) di Silalahi Nabolak dan kejadian itu mengagetkan Silahi sabungan berserta isterinya Pingganmatio. Kemudian mereka membuat nama anak laki–laki yang baru lahir itu Debongraja = Debangraja.

Ketika Silahi sabungan sedang bersemedi di Gua batu diatas bukit Silalahi, tiba waktunya Pingganmatio untuk melahirkan kembali. Mungkin karena faktor usia Pingganmatio merasa kesakitan, sehingga mengerang ia dan minta bantuan. Anak sulung Lohoraja yang melihat ibunya mengerang kesakitan, ia kemudian segera menyusul ayahnya Silahi sabungan ke bukit untuk memberitahukan. Silahi sabungan kemudian meramu obat salusu ( obat penambah tenaga ), Pingganmatio kemudian melahirkan seorang anak laki–laki lagi. Menginngat kisah ini, kemudian Silahisabungan memberikan nama anak itu Baturaja. Dengan kelahiran Baturaja maka anak keturunan Silahisabungan dari Pingganmatio boru Padangbatangari berjumlah delapan orang, tujuh orang anak laki – laki dan seorang puteri.

Semenjak kelahiran Baturaja, Raja Silahisabungan sering berpergian keluar kampung Silalahi untuk Manandanghon Hadatuon (menyabung ilmu) ke daerah Samosir, Simalungun dan Tanah Karo.

KISAH DARI TOLPING & PANGURURAN

LEGENDA DAN SEJARAH SILAHI SABUNGAN
Kisah marga Silalahi di Tolping dan Pangururan, Samosir.

( Waldemar Hutagalung, Buku : Pustaha Tarigot Tarombo ni bangso Batak ,1926.
“ ……..di Pangururan, Busokraja adalah putera sulung Sinabang. Bursokraja kemudian membuat namanya Ompu Sinabang dan kemudian hari menjadi Ompu Lahisabungan “ . Karena nama ini, ia kemudian diusir dari Silalahi Nabolak …… ).


Debangraja, alias Sidebang, alias Sinabang menikahi Panamean boru Sagala . Dari pernikahan ini mereka mempunyai 4 (empat) orang anak laki – laki. Sampai dewasa ke-empat anak ini belum dibuat namanya sehingga selalu dipanggil “si bursok” (nama panggilan kepada anak laki-laki, alias ucok). Seringkali ketika orangtuanya atau temannya memanggil “bursok” alhasil mereka akan bersamaan menjawab, sehingga mereka terkadang merasa malu dan kesal.

Pada suatu ketika anak sulung Sinabang mengusulkan suatu perjanjian dengan ketiga adiknya, untuk memilih nama bagi mereka masing-masing – namun tanpa se pengetahuan orangtua mereka- dan mereka berjanji bila siapa di antara mereka yang membocorkan rahasia ini kepada orangtua mereka, maka ajab sumpah serapah “kesengsaraan” akan menimpa sepanjang hidupnya.

Anak sulung memilih nama Ompu Sinabang. Awalnya ketiga adik tidak setuju nama itu, karena tidak sepantasnya. Anak kedua memilih namanya: Si Ari, anak ketiga memilih namanya Si Taon, anak keempat memilih namanya Si Sidung.

Pada malam harinya sewaktu mau makan, Ompu Sinabang pura – pura sibuk bermain dihalaman rumah. Makanan telah siap, Debangraja kemudian menyuruh anaknya yang ke-2 memanggil abangnya untuk makan bersama. Dengan polosnya Si Ari lalu memanggil : ” Ompu Sinabang , ayo kita makan “, katanya. Debangraja semakin kaget lagi ketiga kedua anaknya yang lain juga memanggil nama yang sama kepada kakaknya, yaitu “ Ompu Sinabang “.

Dengan marahnya Debangraja kemudian mengumpulkan anak-anaknya dan mennay mengapa anak sulungnya sampai memiliki nama Ompu Sinabang. Julukan Ompu Sinabang adalah julukan bagi ayah dari Debangraja sendiri. Meski demikian, Ompu Sinabang menjawab bahwa ia sendiri memilih nama itu untuknya dan tanpa maksud tertentu yang lain.

Debangraja memaksa untuk mengganti nama Ompu Sinabang sekaligus memberi ancaman, jika tidak diganti maka Ompu Sinabang tidak akan di akui lagi sebagai anak Debangraja. Namun karena telah terlanjur bersumpah, maka Ompu Sinabang lebih memilih meninggalkan orangtua dan adik-adiknya daripada harus menerima ajab sumpah serapah. Dan sejak saat itu pula Debangraja mengusirnya dari hadapannya dan tidak pernah mengakui Ompu Sinabang sebagai anaknya lagi. Demikian juga dengan Ompu Sinabang telah berjanji, bahwa ia akan menyembunyikan asal-usulnya kepada keturnannya kelak dan tidak akan pernah kembali atau mengingat Silalahi Nabolak lagi.

Ompu Sinabang berjalan menyusuri tepian Danau Silalahi dan ia akhirnya tiba di Pangururan, pulau Samosir . Di Pangururan, Ompu Sinabang mendengar seorang puteri Raja Simbolon yang elok rupawan, yang pandai berpantun dan teka–teki. Ompu Sinabang kemudian pergi menjumpai puteri Raja Simbolon yang sedang bertenun. Setelah berbala-balasan pantun akhirnya sang putrid memberitahu namanya adalah Rumondang Sindarmataniari. Ompu Sinabang pun lalu memperkenalkan diri bahwa ia adalah cucu dari Silahisabungan, yang disegani di tanah Batak. Singkat cerita, akhirnya mereka menikah di Pangururan.

Berulangkali putri Rumondang Sindar mataniari boru Simbolon mengajak Ompu Sinabang untuk menjeguk mertua di Silalahi Nabolak, namun berulangkali juga Ompu Sinabang berhasil mengurungkan niat istrinya dengan berbagai alasan. Suatu hari, Ompu Sinabang meminta ijin kepada isterinya untuk pergi ke Balige menemui Hahadoli-nya disana, Raja Bunga-bunga alias Siraja Parmahan putra Sondiraja dari Silalahi Nabolak yang telah diangkat menjadi Anak oleh Tuan Sihubil – anak Sibagot Nipohan - di Balige.

Dalam perjalanan ke Balige, Ompu Sinabang kemudian tiba di Muara, Toba. Disana tengah terjadi perang diantara Toga Sianturi- marga Simatupang dengan pihak lain. Setelah Toga Sianturi berkenalan dengan Ompu Sinabang dan mengetahui bahwa ia adalah cucu Raja Silahisabungan yang kesohor “sakti”, maka Toga Sianturi meminta bantuan Ompu Sinabang sebagai panglima perang. Mendengar panglima perang Toga Sianturi adalah keturunan Raja Silahisabungan, musuh merekapun akhirnya lari ketakutan meninggalkan Muara. Karena jasa Ompu Sinabang dan untuk menjaga keamanan negeri, Toga Sianturi menikahkan putrinya Siboru Anting Haomasan dengan Ompu Sinabang.

Siboru Anting Haomason kemudian juga meminta agar segera menemui mertuanya di Silalahi Nabolak. Akhirnya dengan terpaksa mereka harus berangkat menuju Silalahi Nabolak melalui Tao Lontung untuk menjauh dari Pangururan. Ketika mereka berlayar di Tao Ambarita, Ompu Sinabang melihat ada orang melambai-lambaikan tangan (manghilap ) seakan – akan memanggil supaya mereka berlabuh ke Ambarita. Rupanya penduduk negeri yang bermaksud mengadakan Horja Sakti Mangalahat Horbo di Bius Ambarita.

Setelah penduduk Ambarita yang terdiri dri marga Sidabutar, Siallagan dan Rumahorbo (keturunan Nai Ambaton) beserta marga Manik keturunan Silauraja berkenalan dengan Ompu Sinabang, maka mereka menyarankan agar Ompu Sinabang sertamerta ikut berpesta mengingat Ompu Sinabang memperisterikan boru Simbolon yang masih keturunan Nai Ambaton juga. Ompu Sinabang kemudian pergi ke Pangururan untuk menjemput isterinya Rumondang Sindar mataniari boru Simbolon. Pada Horja sakti manghalat horbo di Ambarita itu kemudian Ompu Sinabang diangkat sebagai Rajani Boru bersama marga Manik di Bius Ambarita. Sebagai pemberian Raja Bius di Ambarita kepada Rajani Boru - Ompu Sinabang - adalah sebidang tanah di huta Tolping. Mereka akhirnya menempati dan membangun pemukiman tempat tinggal mereka di huta Tolping. Kedua isterinya kemudian melahirkan masing-masing anak laki-laki, di Tolping dan Pangururan.
Anak dari Ompu Sinabang di Tolping di sebut juga Partada dengan marga Silalahi atau disebut juga Silalahi Partada (bukan Silalahi Raja). Sedangkan anak Ompu Sinabang di Pangururan di sebut juga Si Pantang dengan memakai marga Silalahi juga dikenal dengan Silalahi Sipantang.


Bius Tolping – Marga Silalahi di Tolping , Samosir.

Setelah keturunan Partada semakin waktu semakin banyak di Tolping, dan pada kemudian hari keturunan Silahi Sabungan dari Silalahi Nabolak sudah ada merantau ke Tolping dengan memakai marga Silalahi juga. Alhasil keturunan marga Silalahi semakin banyak banyak di Tolping dan kemudian marga Silalahi memisahkan diri (manjae) dari Bius Ambarita dengan membagun bius sendiri di huta Tolping, yang di sebut Bius Tolping.

Raja Bius dalam Bius Tolping adalah :

1. Pande Bona Niari marga Silahoho dari Sibisa
2. Pande Nabolon marga Silalahi dari Sibisa
3. Raja Panuturi marga Silalahi keturunan Partada dari Tolping.
4. Raja Panullang marga Sigiro dari Buhit.

Dengan terbentuknya Bius Tolping, maka tanah keturunan Raja Silahisabungan di pulau Samosir sijuluki : “ tano so magotap sian Parbaba sahat tu Tolping.”

** ) Sihaloho,J
Buku Memori Raja Silahi Sabungan, Tumaras ( hal. 91-98 )

**) Waldemar Hutagalung, Tarombo Siraja Batak.
Tarombo Online, Cyber Hermegram Development, Website.
Richard Sinaga, Drs. – Leluhur marga-marga Batak , 1997

>> tidak mencantumkan Bursokraja dalam keturunan Debangraja akibat sumpah Debangraja…
telah tidak mengakui Bursokraja sebagai keturunannya.

** ) Lebih lanjut keberadaan keturunan Silalahi Sipantang di Pangururan tidak diketahui lagi.

Dalihan Natolu / Tolu Sahundulan

( Dampak Modernisasi vs Kultur Batak )

Satu hal yang menarik adalah bahwa konsep Dalihan Natolu merupakan prinsip sosial yang hanya dimiliki oleh etnis Batak.

Jika diartikan secara gamblang, memang Dalihan Natolu adalah tungku dengan tiga buah batu. Kita tau banyak model tungku yang biasa dipergunakan masyarakat Batak khususnya. Namun Dalihan Natolu yang dimaksudkan disini bukanlah seperti arti yang gamblang diatas.
Dalihan Natolu disini ‘sarat’ makna khiasan.

Dalam Batak Toba dikenal istilah Dalihan Natolu. Dalam Batak Simalungun selain istilah Dalihan Natolu, dikenal juga dengan istilah Tolu Sahundulan.
‘ Manat mardongan tubu, elek marboru, somba marhula-hula’.

Saya melihat konsep ini sangat luar biasa bila dibayangkan dengan tingkat peradaban Nenek Moyang orang Batak terdahulu. Dimana Nenek Moyang kita sudah mampu membangun sebuah model tatanan sosial sedemikian bagus. Hula-hula ( bahasa Simalungun : Tondong ), Dongan Tubu ( bahasa Simalungun : Sanina) dan Boru menjadi tiga unsur yang tidak dapat dipisahkan ditengah-tengah hubungan sosial dan kekerabatan adat masyarakat Batak. Dalam kegiatan Ulaon misalnya, maka ketiga unsur harus terpenuhi dan inilah menjadi subjek ( menurut kategori Ulaon, Adat dan lingkup kekerabatannya ). Artinya, setiap orang akan menempatkan posisi dan fungsinya diantara ketiga subjek tersebut.


01) Pengaruh Agama.

Jauh sebelumnya masyarakat Batak telah menganut faham kepercayaan Parmalim ( dalam bahasa Simalungun dikenal : Sipajuh Begu-begu ) sampai kemudian datangnya pengaruh Hindu, Syiar agama Islam dan Missionaris Kristen ).
Setelah masyarakat Batak memeluk agama, konsep Dalihan Natolu atau Tolu Sahundulan mengalami proses pelurusan. Berbeda dengan praktek ritual budaya Adat Batak yang kemudian banyak mengalami perbaikan / penyesuaian karena bertentangan dengan konsep Agama yang dianut. Karena memang agama tidak mempermasalahkan budaya selagi itu tidak bertentangan dengan ajaran agama tersebut.

Konsep Dalihan Natolu / Tolu Sahundulan adalah universal sehingga tidak mempersoalkan agama. Dalihan Natolu / Tolu Sahundulan adalah murni tatanan Horisontal / hubungan sosial budaya masyarakat Batak. Hanya saja pada pelaksanaannya tetap tunduk dan menghormati nilai-nilai agama yang ada. Memang pada umumnya masyarakat kita mengidentikkan etnis Batak dengan agama Kristen, hal ini mungkin dikarenakan etnis Batak pemeluk agama Kristen lebih konsisten memperlihatkan nilai-nilai kultur adat Batak itu sendiri.


02) Pengaruh Peradaban / Modernisasi.

Tak dapat dipungkiri, perkembangan peradaban takdapat dibendung dan mau tidak mau konsep Dalihan Natolu / Tolu Sahundulan harus diadaptasi. Dalam era Minimalis seperti sekarang ini, tatanan sosial masyarakat bergeser menjadi lebih kritis, praktis, cepat dan tepat.

Gejala pengikisan pemahaman konsep Dalihan Natolu / Tolu Sahundulan seakan menjadi lebih sempit dari generasi ke generasi. Para orangtua juga sepertinya hanya setengah hati dalam mewariskan nilai-nilai budaya yang semestinya kita pertahankan.


Pertanyaannya :
Masihkah kita eksis sebagai etnis Batak yang mau membudayakan konsep Dalihan Natolu ?